Monday, May 18, 2015

PENJELASAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 1


Image
Menyeberang jalur, saya akan menulis sedikit ulasan tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Ulasan kali ini hanya akan membahas Pasal 4 ayat 1 yang berbunyi:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun….
Penjelasan atas unsur-unsur pasal tersebut adalah:
  1. Setiap tambahan kemampuan ekonomis. Dalam unsur ini, kita bahas dulu mengenai unsur tambahan. Tambahan artinya adalah unsur lebih, lebihan, selisih lebih. Pertanyaannya adalah lebih dari apa? Jika merujuk pada frase “Pajak Penghasilan”, maka jawabannya adalah penghasilan yang berlebih. Unsur berlebih inilah yang kemudian memberikan tambahan kemampuan ekonomis. Contoh: Abang nasi goreng. Untuk bahan-bahan jualan nasi goreng sampai dengan nasi goreng dijual, si abang ini perlu modal 100.000. Hasil penjualan nasi goreng adalah 120.000. Dengan demikian, selisih lebihnya adalah 20.000. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pajak, dalam hal ini, menyebutkan bahwa objek pajak adalah penghasilan yang sifatnya “bersih”, sudah dikurangi dengan beban-beban terkait aktivitas untuk mendapatkan penghasilan.
  2. Yang diterima atau diperoleh. Konsep ini memberikan kita dua pengertian utama, yaitu “diterima” dan “diperoleh“. Diterima berarti konsep penghasilan/pendapatan yang diakui secara cash basis. Misalnya, abang nasi goreng jual nasi goreng kepada A. A membayar tunai sebesar 10.000. A menyerahkan tunai 10.000 kepada abang nasi goreng, dan abang nasi goreng menerima 10.000 dari A. Dengan demikian, abang nasi goreng menerima pendapatan sebesar 10.000. Diperoleh berarti konsep penghasilan/pendapatan yang menggunakan pendekatan accrual. Misalnya, A beli nasi goreng tapi utang karena dia nggak punya duit. Abang nasi goreng mempunyai piutang sebesar 10.000, dan A punya utang 10.000 kepada abang nasi goreng. Dalam hal ini, abang nasi goreng tidak menerima uang 10.000. Namun, ia memperoleh pendapatan 10.000 yang uangnya akan ia terima di kemudian hari. Perlu diperhatikan, bahwa pajak–dalam banyak hal–lebih berfokus pada cash basis.
  3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Artinya adalah, tidak peduli darimana asal penghasilan. Mau dari dalam negeri, mau dari luar negeri, semuanya tetep kena pajak.
  4. Dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan. Dalam unsur ini, kita harus berhati-hati dengan konsep konsumsi. Konsep ini biasanya mis-interpretasi dengan konsep cost. Kita kaitkan dengan unsur nomor 1. Tambahan adalah setiap penghasilan bersih, setelah dikurangkan dengan segala beban atau biaya untuk memperoleh pendapatan. Cost adalah segala biaya maupun beban dalam rangka memperoleh pendapatan. Dalam hal ini, cost sifatnya deductible (boleh dikurangkan) dari pendapatan kotor. Berbeda dengan konsumsi. Konsumsi adalah aktivitas yang tidak secara langsung atau bahkan tidak sama sekali mendatangkan manfaat. Konsumsi pun tidak bersifat deductible. Dia tidak boelh dikurangkan dari pendapatan kotor. Misalnya, abang nasi goreng membeli beras untuk keperluan nasi gorengnya. Beras disini adalah cost. Berbeda jika abang nasi goreng memakan satu porsi nasi gorengnya untuk keperluan sendiri karena dia lapar. Nasi goreng yang dimakan ini bukanlah cost, melainkan aktivitas konsumsi.
  5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun. Inti dari hal ini adalah substance over form. Apapun itu, selama bisa memberikan manfaat ekonomi kepada kita, dapat memberikan tambahan kemampuan, maka kita pajak berlaku disitu. Misalnya, kita mendapatkan hadiah berupa mobil seharga 100 juta. Kita tidak menerima uang tunai, tapi menerima dalam bentuk mobil. Apakah kena pajak? Ya, kena pajak. Karena kita mendapatkan tambahan aset seharga 100 juta. Contoh lain, kita barter dengan memberikan emas seharga 95 juta untuk mendapatkan mobil seharga 100 juta. Apakah kena pajak? Ya, kena pajak. Karena kita mendapatkan keuntungan sebesar 5 juta. Lihat, di sini tidak ada pertukaran uang secara langsung namun terjadi substansi penambahan kekayaan. Contoh lain, kita mendapat bunga saat kita menabung di bank. Apakah bunga tersebut kena pajak? Ya, kena pajak.
Penghasilan dalam pasal ini, jika kita melihat dari sisi akuntansi perusahaan yaitu neraca, maka yang dimaksud penghasilan adalah segala tambahan equity tanpa adanya penambahan jumlah saham. Kenapa demikian? Mari kita ingat sedikit. Neraca, atau laporan posisi keuangan terdiri dari 3 unsur utama. Sisi kiri adalah aset, sedangkan sisi kanan berisi utang dan equity. Equity terdiri dari saham dan laba ditahan. Saham adalah kekayaan pemegangnya, pemilik perusahaan. Sementara, akumulasi laba hasil operasi adalah laba ditahan. Dengan kata lain, penghasilan adalah tambahan laba ditahan. Laba ditahan bisa bertambah karena naiknya aset, berkurangnya hutang, atau kombinasi keduanya. Hal ini memenuhi definisi dari pasal 4 ayat 1 undang-undang ini.
https://alien12dandan.wordpress.com/2012/10/11/penjelasan-undang-undang-pajak-penghasilan-pasal-4-ayat-1/
tarif pph pasal 4 ayat 1 berapa?