Thursday, April 21, 2016

PP 46/2013 – PPh final untuk WP dengan omset di bawah Rp. 4,8 Milyar per tahun

https://natanedan.wordpress.com/2013/09/06/pp-462013-pph-final-untuk-wp-dengan-omset-di-bawah-rp-48-milyar-per-tahun/


PP 46/2013 join PMK 107/011/2013 mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013. Tarifnya 1% dari DPP jumlah peredaran bruto setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha (KPP tiap-tiap cabang).
Peraturan ini berlaku untuk perusahaan yang omset tahun 2012 kurang dari Rp. 4,8 Milyar. Sehingga bila omset setahun lebih dari Rp. 4,8 Milyar tidak perlu menyetor PPh final ini.
subjek Pajak tidak termasuk BUT & yg berpenghasilan dari pekerjaan bebas spt WP OP notaris, konsultan hukum, dll. Objek pajak tidak termasuk penghasilan yang sdh dikenakan PPh final dari PP lainnya seperti jasa konstruksi, sewa tanah/bangunan, dll.
Menurut PMK 107/2013, Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP 46/2013), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan & Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain melalui Surat Keterangan Bebas yang diterbitkan diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Sangat disayangkan, PP 46/2013 ini sudah berlaku untuk masa Juli 2013 meskipun belum ada sosialisasinya sebelum liburan lebaran bahkan Juklaknya (PMK 107/2013) baru diterbitkan pada tanggal 30 Juli 2013. Belum jelas pula aturan mengenai kurs yang dipakai bila pembukuan dan Invoice memakai valuta asing. Banyak bank bahkan belum terdaftar kode SSP 411128-420 sebagai kode setoran pajak baru ini.
Berikut peraturan selengkapnya:
===========================================================================
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7)Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atasUndang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pasal 2
(1)Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3)Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
  1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(4)Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
  1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1)Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
(2)Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3)Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4)Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1)Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
(2)Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
  2. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
  1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
  3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 106
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
I.UMUMMateri pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya kesederhanaan dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Tujuan pengaturan ini adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha yang memiliki peredaran bruto tertentu, untuk melakukan penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang.
II.PASAL DEMI PASALPasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan arah aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
  1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
  2. penghasilan dari usaha dan kegiatan;
  3. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha;dan
  4. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Tahun Pajak menurut ketentuan umum perpajakan adalah sama dengan tahun kalender. Namun demikian, bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun kalender, Tahun Pajak ditentukan berdasarkan tahun buku yang didalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun buku tersebut.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013.
Contoh penentuan peredaran bruto:
Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
  1. Pasar A sebesar Rp 80.000.000,00;
  2. Pasar B sebesar Rp 250.000.000,00;
  3. Pasar C sebesar Rp 400.000.000,00.
Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00).
Ayat (3)
Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final:
CV Andik memiliki usaha penjualan gerabah yang berdasarkan pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013), memiliki peredaran bruto sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 1% (satu persen), karena peredaran bruto CV Andik pada Tahun Pajak 2013 tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen).
Ayat (4)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (3), pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan gerabah sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2014 dihitung sebagai berikut:
Pajak Penghasilan yang bersifat final = 1% x Rp50.000.000,00 = Rp500.000,00
Pasal 5
Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah, meskipun peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas penghasilan tersebut.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Contoh perlakuan kompensasi kerugian:
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah mengalami kerugian pada Tahun Pajak 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat fmal berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan Tahun Pajak 2015.
Jika Wajib Pajak PT Pantang Menyerah pada Tahun Pajak 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan mengalami kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak Penghasilan dengan Peraturan Pemerintah ini, dalam hal:
  1. Tahun Pajak sebelumnya kurang dari 12 (dua belas) bulan;
  2. Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini pada bulan sebelum bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini; dan
  3. Wajib Pajak baru terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, untuk Tahun Pajak pertama,
adalah sebagai berikut:
1)PT Maju Jaya menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:
Rp150.000.000,00 x 12/5 = Rp360.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
2)PT Daya Tangkap terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan tersebut adalah Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).Peredaran bruto selama 3 (tiga) bulan yang disetahunkan adalah: Rp150.000.000,00 x 12/3 = Rp600.000.000,00
Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 (tiga) bulan tersebut tidak melebihi Rp 4.800.000.00,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
(3)Gatot Kaca terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada bulan November 2014. Pada bulan November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x Rp15.000.000,00 = Rp180.000.000,00Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5424
==============================================================
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 107/PMK.011/2013
TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir denganUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pasal 2
(1)Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  2. menerima, penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3)Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4)Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
  1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
  2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5)Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
  1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
  2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1)Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2)Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
  1. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
  2. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
  3. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
  4. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3)Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4)Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
(5)Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
Pasal 4
(1)Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1% (satu persen).
(2)Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
(3)Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 5
(1)Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2)Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 6
(1)Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
(2)Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3)Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Pasal 7
(1)Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.
(2)Dalam hal Jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 8
(1)Wajib Pajak yang dikenai Pajak penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
  2. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
(1)Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2)Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3)Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
  1. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut;
  2. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4)Untuk Wajib Pajak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(5)Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
Pasal 10
(1)Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2)Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3)Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Pasal 11
Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.
Pasal 12
(1)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2)Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 13
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
  1. bentuk Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
  2. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
  3. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1)Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak berikutnya.
(2)Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.
Pasal 16
(1)Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
(2)ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.
Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 107/PMK.01/2013
TENTANG : TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN,
DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG
MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU:
1. Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya. Agus Hidayat
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di
wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar
di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut memiliki
peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A = Rp 100.000.000,00
Peredaran bruto bengkel B = Rp 150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran
bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh Agus Hidayat pada tahun 2014
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari bengkel A sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),
maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu),
Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
a. Bengkel A
PPh = 1% x Rp 10.000.000,00
= Rp 100.000,00 (dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh = 1% x Rp 15.000.000,00
= Rp 150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi melakukan perawatan dan
raparasi 5 (lima) motor milik perusahaan tersebut di bengkel A milik Agus Hidayat. Tagihan yang dibuat
kepada PT Amira Ekspedisi atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp 1.500.000,00
(satu juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi melakukan pemotongan PPh
Pasal 23 sebesar 2% x Rp 1.500.000,00 = Rp 30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari Pemotongan dan/atau
Pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas pembayaran tagihan tersebut tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT. Amira Ekspedisi.
2. Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di kota Batam dan di Singapura. Irine telah
terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X. Berdasarkan
pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto butik di Batam = Rp 3.000.000.000,00
Peredaran bruto butik di Singapura = Rp 5.000.000.000,00
Dari peredaran bruto butik di Batam sebesar Rp 3.000.000.000,00 salah satunya merupakan hasil
penjualan sebesar Rp 50.000.000,00 kepada Mr. X seorang pengusaha dari Singapura.
Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh penghasilan dari sewa apartemen di Singapura
sebesar Rp 100.000.000,00.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto
butik di Batam saja, yakni sebesar Rp 3.000.000.000,00. Penghasilan yang diterima Irine dari sewa
apartemen dan butik di Singapura, tidak diperhitungkan dalam menghitung batasan peredaran bruto untuk
dapat dikenai PPh bersifat final.
3. Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan adalah orang pribadi pengusaha konstruksi
yang juga memiliki toko material “Cakar Beton”. Selain usaha tersebut, Hari Nugroho juga aktif
memberikan jasa konsultansi kepada klien yang membutuhkan sarannya. Jumlah seluruh penghasilan yang
diterima oleh Hari Nugroho pada tahun 2013 diketahui sebagai berikut:
a. Penjualan bruto dari toko material “Cakra Beton” Rp 3.500.000.000,00.
b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian material dari toko “Cakar Beton”) Rp
900.000.000,00.
c. Jasa konsultansi sebesar Rp 500.000.000,00.
Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar Rp 4.900.000.000,00 (Rp
3.500.000.000,00 + Rp 900.000.000,00 + Rp 500.000.000,00).
Untuk menentukan PPh dari usaha toko material “Cakar Beton” di tahun 2014 dikenai tarif umum atau tarif
yang bersifat final, adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha toko material “Cakar Beton” saja yakni
sebesar Rp 3.500.000.000,00. Sedangkan peredaran bruto dari jasa pelaksanaan konstruksi dan jasa
konsultansi tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan konstruksi dikenai PPh yang bersifat final
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tersendiri dan jasa konsultansi termasuk dalam lingkup jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko material “Cakar Beton”, untuk setiap
bulannya;
b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersendiri; dan
c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas penghasilan dari jasa konsultasi. Misalkan
biaya dari jasa konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp 169.625.000,00 dan PPh yang telah
dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar Rp 14.750.000,00, maka kewajiban angsuran
PPh Pasal 25 di tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00
Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00
PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 14.750.000,00
PPh terutang Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 atas jasa konsultasi Rp 2.000.000,00
(1/12 x Rp 24.000.000,00)
4. CV Abadi Mebelindo bergerak di bidang usaha industri furnitur terdaftar sebagai Wajib Pajak badan di KPP C
sejak tahun 2011. Berdasarkan pembukuannya pada tahun 2012 memiliki peredaran bruto sebesar Rp
390.000.000,00 (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah).
Dengan demikian tarif PPh yang bersifat final yang dikenakan terhadap penghasilan dari usaha yang
diterima oleh CV Abadi Mebelindo mulai bulan Juli 2013 adalah sebesar 1% (satu persen).
Pada bulan Juli 2013, CV Abadi Mebelindo memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) maka paling lambat pada tanggal 15 Agustus 2013 CV Abadi Mebelindo wajib
menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar:
PPh = 1% x Rp 20.000.000,00
= Rp 200.000,00
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penentuan tanggal jatuh tempo
penyetoran, dan pelaporan pajak:
a. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal
15 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran
dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tanggal 15 Agustus 2013.
b. dalam hal CV Abadi Mebelindo menyetorkan PPh bersifat final sebesar Rp 200.000,00 pada tanggal
22 Agustus 2013 dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara, maka CV Abadi Mebelindo menyetor setelah tanggal jatuh tempo penyetoran
(terlambat melakukan penyetoran) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan
tanggal 22 Agustus 2013.
Penyetoran tanggal 22 Agustus yang dilakukan oleh CV Abadi Mebelindo yang sekaligus merupakan
tanggal pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan tidak termasuk sebagai Surat
Pemberitahuan Masa yang terlambat disampaikan karena kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Penghasilan diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014 sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16 ayat (2).
Pada bulan November 2013 SD Negeri 03 Jakarta membeli kursi dan meja dari CV Abadi Mebelindo sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Atas pembelian tersebut Bendahara SD Negeri 03 Jakarta
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen) x Rp 10.000.000,00 = Rp
150.000,00. Namun demikian, jika CV Abadi Mebelindo telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari
pemotongan dan/atau pemungutan PPh dari KPP C, atas pembelian tersebut Bendahara SD Negeri 03
Jakarta tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22.
5. PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada tahun 2012 dan pada
tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z. PT Andalan menggunakan tahun
buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2013 PT Andalan masih terus melakukan kegiatan
investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan
kegiatan operasi secara komersial.
Pada tanggal 1 November 2013 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa
produksi gula dalam kemasan.
Sesuai ketentuan Pasal 7 Peraturan Menteri ini, maka untuk Tahun Pajak 2013, PT Andalan dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Mengingat bahwa 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial melewati Tahun Pajak yang
bersangkutan maka sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2), sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014, Wajib Pajak
masih dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 (satu tahun sejak
mulai beroperasi komersial) telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah),
maka mulai Tahun Pajak 2015 PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam hal peredaran bruto usaha PT Andalan sampai dengan tanggal 31 Oktober 2014 tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka pengenaan Pajak Penghasilan untuk
Tahun Pajak 2015 memperhatikan peredaran bruto Januari sampai dengan Desember 2014.
6. Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang
memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha sehingga Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu. Peredaran bruto usaha Tahun Pajak 2013 adalah sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) sehingga pada Tahun Pajak 2014 Heri Kurnia dikenai PPh yang bersifat final.
Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha sampai dengan akhir
Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 Heri Kurnia dikenai PPh berdasarkan tarif umum Undang-Undang
Pajak Penghasilan, dan Heri Kurnia wajib menyetorkan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25, sesuai
ketentuan angsuran bagi orang pribadi pengusaha tertentu.
Pada bulan Januari 2015 peredaran bruto dari usaha Heri Kurnia adalah sebesar Rp 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah).
Dengan demikian, penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari 2015 adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 25 = 0,75% x Rp 400.000.000,00
= Rp 3.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah 0,75%
dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.
7. Pada Tahun Pajak 2014 Wajib Pajak PT Pandiro Anugerah dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Menteri ini. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan diketahui bahwa peredaran bruto usaha
sampai dengan akhir Tahun Pajak 2014 berjumlah Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dengan demikian pada Tahun Pajak 2015 PT Pandiro Anugerah dikenai PPh berdasarkan tarif umum
Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pada bulan Januari 2015 seluruh peredaran bruto PT Pandiro Anugerah
adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), dan PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain
(bukan PPh final) adalah sebesar Rp 51.000.000,00 (lima puluh satu juta rupiah).
Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak 2015 adalah sebagai berikut:
Penghasilan bruto sebulan Rp 200.000.000,00
Biaya-biaya Rp 150.000.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00
Penghasilan neto sebulan disetahunkan Rp 600.000.000,00
PPh terutang (12,5% x Rp 600.000.000,00) Rp 75.000.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 51.000.000,00
PPh kurang bayar Rp 24.000.000,00
Angsuran PPh Pasal 25 Rp 2.000.000,00
1/12 x Rp 24.000.000,00)
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2015 adalah
Rp2.000.000,00.
8. CV Karya Serasi bergerak di bidang usaha penjualan alat tulis. Berdasarkan pembukuan yang dilakukan
diketahui hal-hal sebagai berikut:
Tahun Peredaran Bruto Laba (Rugi) fiskal
2012 Rp 4.000.000.000,00 (Rp 300.000.000,00)
2013 Rp 5.000.000.000,00 (Rp 200.000.000,00)*)
2014 Rp 8.000.000.000,00 Rp 500.000.000,00
*) rugi Juli-Desember 2013
Berdasarkan data tersebut maka CV Karya Serasi dapat melakukan kompensasi kerugian tahun 2012
sebesar Rp 300.000.000,00 mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2017.
Pada tahun 2013 CV Karya Serasi dikenai PPh yang bersifat final sebesar 1%, sehingga kerugian pada
tahun tersebut yakni sebesar Rp 200.000.000,00 tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak
berikutnya.
Pada tahun 2014, CV Karya Serasi tidak lagi dikenai PPh yang bersifat final sebesar 1% tetapi dikenai PPh
sesuai tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan Kena Pajak 2014 adalah sebesar
Rp200.000.000,00 yaitu laba fiskal tahun 2014 sebesar Rp 500.000.000,00 dikurangi kompensasi kerugian
tahun 2012 sebesar Rp 300.000.000,00.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
u.b.
KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
ttd.
GIARTO
NIP 195904201984021001
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MUHAMAD CHATIB BASRI